Puspenkum Kejagung Jelaskan Pertimbangan Tuntutan Terdakwa Perkara Pembunuhan Berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat

 

Kejari Jember – Melalui siaran pers Nomor: PR – 105/105/ K.3/Kph.3/01/2023 tertanggal 19 Januari 2023, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Dr. Ketut Sumedana memberikan penjelasan tentang pertimbangan hukum yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. 

Baca juga : RSD dr Soebandi Ajukan Permohonan Bantuan Hukum Nonlitigasi

Kapuspenkum Dr. Ketut Sumedana menyatakan, mencermati pemberitaan media massa, unggahan media sosial, opini, dan polemik di masyarakat  terkait tuntutan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal Wibowo, dan Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang cenderung memberikan dampak negatif terhadap institusi.

Berdasar hal itu, Puspenkum Kejagung menyampaikan pertimbangan-pertimbangan hukum secara logis, yuridis, dan akuntabel, yang menjadi bahan pertimbangan oleh Penuntut Umum dalam membacakan surat tuntutan.

“Pertama, kami sangat menghargai berbagai komentar dan rasa empati terhadap korban, keluarga korban, dan para terdakwa yang selama ini berkembang di masyarakat baik pro maupun kontra terhadap surat tuntutan Penuntut Umum,” terang Kapuspenkum.

Kedua, penentuan tinggi rendahnya tuntutan terhadap para terdakwa mempertimbangkan berbagai persyaratan baik itu pelaku, korban, peran masing-masing para terdakwa, termasuk latar belakang para terdakwa, dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

Penilaian tuntutan bukan saja melihat dari mens rea para terdakwa, tetapi kesamaan niat dan perbedaan peran dari masing-masing para terdakwa menjadi pertimbangan matang dalam menuntut para terdakwa sebagaimana dibuktikan dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ketiga, sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan, bahwa terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual (intelectual dader) telah dituntut dengan hukuman seumur hidup karena telah memerintahkan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu untuk mengeksekusi menghilangkan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat guna menyempurnakan pembunuhan berencana, sehingga terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dituntut 12 tahun penjara.

Sementara terdakwa Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal Wibowo tidak secara langsung menyebabkan terjadinya penghilangan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Perbuatan terdakwa Putri Candrawathi, terdakwa Kuat Ma’ruf, dan terdakwa Ricky Rizal Wibowo sejak awal mengetahui rencana pembunuhan tersebut, akan tetapi tidak berusaha mencegah untuk tidak terjadi pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Keempat, rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu untuk mendapatkan justice collaborator telah diakomodir dalam surat tuntutan sehingga terdakwa mendapatkan tuntutan pidana jauh lebih ringan dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual (intelectual dader).

Terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu adalah seorang bawahan yang taat kepada atasan untuk melaksanakan perintah yang salah dan menjadi eksekutor dalam pembunuhan berencana dimaksud.

Kelima, kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang pada pokoknya tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu dan juga sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 antara lain tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

Keenam, delictum yang dilakukan oleh terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai eksekutor yakni pelaku utama bukanlah sebagai penguak fakta utama sehingga peran kerja sama dari terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu sudah dipertimbangkan sebagai terdakwa yang kooperatif dalam surat tuntutan Penuntut Umum.

Sementara peran terdakwa sebagai pelaku utama yang menyebabkan sempurnanya tindak pidana pembunuhan berencana, tidak dapat direkomendasikan untuk mendapatkan justice collaborator sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, salah satunya justice collaborator adalah bukan pelaku utama.

“Proses persidangan masih berjalan, dan kemungkinan akan sampai pada upaya-upaya hukum ke tingkat Mahkamah Agung. Untuk itu, agar segenap masyarakat dan media menunggu bagian akhir dari putusan perkara dimaksud sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat.” tutup Kapuspenkum. (din)

 

 

 

Bagikan Ke:

Related posts